Selasa, 31 Mei 2011

PENGUMUMAN

Kunjungi Website Resmi KOSTAF yang baru di:

www.kostafui.org

Semoga dengan website kami yang baru, KOSTAF akan jauh lebih baik dalam memberikan informasi mengenai KOSTAF, Pajak, dan sekitarnya...

Terima Kasih...

KOSTAF... beyond Taxation...

Selasa, 22 Februari 2011

"Justru Pajak Film Luar Untungnya Buat Kita"

okezone.com, Senin 21 Februari 2011

JAKARTA -
Langkah pemerintah yang memberlakukan penghitungan ulang terhadap bea masuk film asing dinilai Jessica Jesi Iskandar sebagai langkap tepat.

"Kalau tujuannya baik, positif saja. Cuma paling, efek-efeknya kayak film, jadi enggak tayang itu yang aku sesali. Tapi untuk kenaikan pajak wajar-wajar saja. Justru naiknya pajak itukan (film luar) digunakan untuk membangun negara kita. Jadi kalau misalkan naik dalam angka yang wajar, sah-sah aja," papar Host Tamu Dahsyat ini ditemui di RCTI, Senin (21/2/2011).

Menurut perempuan yang hobi menghabiskan waktu dengan menonton film hollywood, justru senang jika film barat tidak lagi tayang di Indonesia. Lantaran peluang pekerjaan dalam bidang akting di dalam negeri lebih terbuka lebar.

"Artinya, semakin banyak lowongan kerja karena pasti semakin banyak film Indonesia yang akan keluar," tandasnya.

Pelantun Surat Cinta itu meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah terkait langkah MPA (Motion Pictures Association) yang ingin menarik film Hollywood dari tanah air. Langkah ini pun sudah disusul oleh importir film Bollywood dan juga Hong Kong.

"Coba saja diambil jalan tengahnya. Kalau bisa jangan sampai tidak ada juga film Hollywood, karena kalau bioskopnya cuma ada film Indonesia, kasihan bioskopnya. Kan enggak semua orang suka menikmati film Indonesia," harapnya.(nov)

Film Impor Pergi, Pajak Daerah Pun Turun

kompas.com, Senin 21 Februari 2011

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak dan bea masuk bagi film-film impor mengancam banyak distributor mundur atau kemungkinan lainnya bisa berdampak terhadap naiknya tiket menonton di bioskop apabila distributor menaikkan harga kepada pengelola bioskop. Kedua hal ini bisa berdampak pada turunnya minat masyarakat untuk menonton ke bioskop.

Hal itulah yang kemudikan dikhawatirkan Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan Setiawan. "Kami khawatir dengan turunnya minat masyarakat ke bioskop akan menurunkan penerimaan pajak daerah, yaitu pajak hiburan," ucap Iwan, Senin (21/2/2011), saat dihubungi wartawan.

Dia mengatakan, penerimaan daerah dari sektor pajak hiburan di Jakarta cukup besar, yakni mencapai Rp 300 miliar. "Dari jumlah itu 40-50 persennya hasil kontribusi pajak yang diserahkan dari bioskop seperti 21 Cineplex. Apalagi di Jakarta sudah ada ratusan bioskop," ungkapnya.

Iwan menuturkan, kondisi film nasional saat ini masih belum bisa menggantikan posisi film impor yang cukup laris bagi warga kota. "Dilihat dari segi minat menonton saja, coba dilihat apakah masyarakat kota besar itu lebih besar ke film nasional atau film-film Hollywood?" kata Iwan.

Apabila film-film nasional saat ini hanya berorientasi bisnis tanpa disertai kualitas, maka mau tidak mau masyarakat akan tetap memilih film-film impor. "Dengan minimnya masyarakat menonton ini, tidak hanya DKI saja yang terkena dampaknya, tapi beberapa kabupaten dan kota seperti Bandung, Depok juga akan terkena dampak (penurunan pajak daerah)," ujarnya.

Sebelumnya, Motion Pictures Association (MPA) keberatan atas kebijakan pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) tentang Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Di dalam aturan itu disebutkan, bea masuk film sebesar 5-15 persen. Aturan yang ditetapkan pada 22 Desember 2010 itu membedakan tarif berdasarkan ukuran, jenis, dan bahan film impor.

Kebijakan bea masuk film impor tertuang dalam SE-03/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan royalti dan perlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) atas peredaran film impor. Pihak distributor juga dibebani tarif PPN dan PPh atas film impor flat sebesar USD0,43 atau setara dengan Rp 3.870, per meter.

Kebijakan itulah yang langsung mendapatkan protes dari MPA sebagai produsen film Hollywood di Indonesia dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia. Mereka kemudian memutuskan untuk menghentikan peredaran film-film produksi mereka di Indonesia.

Tak Ada Kebijakan Perpajakan Baru

kompas.com, Senin 21 Februari 2011

JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menegaskan, tidak ada kebijakan baru terhadap film impor karena penambahan royalti ke nilai pabean sudah sesuai dengan Perjanjian Penilaian Organisasi Perdagangan Internasional (WTO Valuation Agreement). Dengan demikian, penarikan royalti sebagai basis penagihan bea masuk film impor sudah berlaku sejak diratifikasi Indonesia, yakni tahun 1995.

"WTO Valuation Agreement sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan diadopsi pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995. Undang-undang tersebut sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang mengatur nilai pabean," tutur Direktur Teknis Kepabeanan Heri Kristiono di Jakarta, Senin (21/2/2011).

Menurut Heri, tidak ada kenaikan tarif bea masuk. Film impor diklasifikasikan dalam HS (pos tarif) 3706 dengan pembebasan tarif bea masuk 10 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor sebesar 2,5 persen.

Kemudian, sesuai dengan jadwal audit yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, tahun 2010 adalah jadwal untuk audit importir film. Dalam audit itu, Ditjen Bea dan Cukai menghitung ulang pada tahun 2010.

Pada 11 Februari 2010 digelar rapat antardepartemen tim harmonisasi tarif di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Atas dasar rapat itu, diadakan pertemuan antara unsur pimpinan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional dan Kepala BKF. Dalam pertemuan itu, BKF menyatakan bahwa permasalahannya saat ini adalah perhitungan nilai pabean.

"Nilai pabean untuk impor film hanya didasarkan pada harga cetak copy film, belum termasuk hak royalti dan bagi hasil," ujar Heri.

Selasa, 01 Februari 2011

Temui Pimpinan KPK, Dirjen Pajak Bahas Penyelidikan Kasus Gayus

detik.com, Selasa 01 Februari 2011

Fajar Pratama


Jakarta - Tanpa banyak diketahui, Pimpinan KPK malam ini melakukan pertemuan dengan Dirjen Pajak Fuad Rahmany. Pertemuan tersebut untuk membahas seputar penyelidikan kasus Gayus Tambunan yang saat ini tengah dilakukan KPK.

"Membicarakan hal-hal yang teknis dalam rangka kita untuk penyelidikan data-data yang diutuhkan dalam konteks kasus Gayus," ujar Fuad kepada wartawan di Gedung KPK, Selasa (1/2/2011) malam.

Fuad keluar dari gedung KPK sekitar pukul 21.15 WIB, ditemani Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra M Hamzah. Namun Fuad menyankal kedatangannya ini untuk menyerahkan data dari Ditjen Pajak yang diminta oleh KPK.

"Belum, bukan hari ini. Kita masih berbicara hal-hal teknis," terang Fuad.

KPK yang saat ini tengah berada dalam tahap penyelidikan kasus Gayus Tambunan meminta data 151 perusahaan yang pernah ditangani terdakwa kasus mafia pajak tersebut. Surat permintaan data itu sudah dilayangkan ke Kemenkeu.

Namun sampai saat ini, Kemenkeu khususnya Ditjen Pajak belum juga memberikan data tersebut ke KPK. Untuk diketahui, Mabes Polri sudah lebih dulu meminta data yang kurang lebih sama ke Kementerian Keuangan.