Minggu, 25 Juli 2010

Tersangkut Kasus Pajak, Darmin akan Dipanggil DPR

m.mediaindonesia.com, Sabtu 24 Juli 2010

JAKARTA -
Panja Pengawasan Penyelidikan Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Komisi III DPR akan tetap memanggil Gubernur BI terpilih, Darmin Nasution. Pemanggilan itu terkait dengan kasusnya saat menjabat sebagai Dirjen Pajak.

"Kita akan tetap memanggil dia, karena sudah teragenda. Kita akan panggil dia sebagai Dirjen Pajak," ujar Ketua Panja yang juga merupakan wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (24/7).

Menurut Azis, pemanggilan Darmin ini dilakukan sebagai tindak lanjut laporan dari Asosiasi Pengusaha Pembayar pajak (APPI).

Laporan ini terkait dengan kasus pajak macet yang bermula dari kekurangan bayar pajak penghasilan tahun 2004 atas nama Paulus Tumewu, pemilik Ramayana Group yang juga adik ipar Edy Tanzil.

Yang bersangkutan harusnya didenda empat kali lipat dari kekurangan bayar pajak Rp7,994 miliar. Namun ternyata, Paulus Tumewu tidak membayar empat kalinya, melainkan hanya Rp7,994 miliar.

Paulus hanya membayar pokoknya dan kasusnya selesai. Adalah surat Menkeu SR-173/MK./03/06 tertanggal 1/ Oktober 2006 terkait penghentian penyidikan wajib pajak atas nama Paulus Tumewu.

Surat Menkeu kemudian dibalas Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh lewat surat tertanggal 19 Oktober 2006 yang menyatakan setuju menghentikan penyidikan kasus pajak Paulus Tumewu atas perintah menteri keuangan.

Sebelumnya, Panja sudah melakukan pemanggilan terhadap Darmin. Tapi beliau tidak datang dengan beralasan rapat dan memiliki agenda lainnya.

"Kita pernah panggil, tapi beliau tidak datang. Kita panggil satu kali secara tertulis. Dia tidak datang. Alasannya ada rapat dan agenda."

Walaupun telah teprilih sebagai Gubernur BI, Azis menegaskan pihaknya akan tetap memanggil Darmin. Rencananya pemanggilan ini akan dilakukan dalam masa persidangan ini atau masa persidangan berikutnya. "Nanti akan dipanggil lagi. Kita lihat apakah masa sidang ini atau mendatang," imbuhnya.

SBY Minta Kembalikan Kepercayaan Rakyat Terhadap Sektor Pajak

ekonomi.tvone.co.id, Rabu 21 Juli 2010

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, kepercayaannya terhadap Direktorat Jenderal Pajak akan cepat pulih jika seluruh jajaran lembaga itu benar-benar menunjukan integritas, kapasitas, dan kinerja yang baik.

"Makin cepat ditunjukkan, makin cepat pula kepercayaan saya itu pulih kembali," kata Presiden Yudhoyono saat memberikan pengarahan kepada jajaran Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai di Istana Negara Jakarta, Rabu (21/7).

Presiden mengatakan, lembaga tersebut agar melakukan reformasi birokrasi, meningkatkan kinerja, dan menghentikan perilaku- buruk. Menurut dia, pada awal masa jabatannya sebagai presiden pada 2004, Ditjen Pajak dan Bea dan Cukai adalah dua dari empat lembaga pertama yang ia kunjungi mengingat arti penting lembaga-lembaga itu bagi negara.

"Enam tahun berlalu, sebagian berubah namun sebagian tidak berubah," ujarnya. Namun terhadap upaya reformasi perpajakan, Presiden Yudhoyono menyampaikan dukungan penuhnya pada setiap perbaikan, peningkatan kinerja, dan langkah reformasi.

"Kalau saudara sudah memiliki agenda, prioritas, program aksi dalam tahap kedua ini, jalankan. Jalankan dengan benar dan kemudian lakukan evaluasi untuk melihat hasil konkretnya," katanya. Sebelumnya Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyampaikan komitmen Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai untuk melakukan reformasi tahap kedua.

Pada kesempatan itu, di hadapan lebih dari 200 pejabat dan pegawai Ditjen Pajak dan Bea dan Cukai, Presiden juga menggarisbawahi perspektif moral dan keadilan dari pajak dan bea dan cukai. Ia mengatakan, iklan layanan masyarakat "Orang Bijak Bayar Pajak", tidak hanya berlaku bagi wajib pajak, namun juga petugas pajak.

"Petugas pajak yang bijak adalah petugas pajak yang mengelola urusan perpajakan dengan baik dan benar," katanya. Turut mendampingi Presiden dalam kesempatan acara itu, antara lain, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Jaksa Agung Hendarwan Supanji, dan Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto (Ant).

Bisnis di 'Online' Pun Kena Pajak!

kompas.com, Jum'at 23 Juli 2010

JAKARTA
— Para pengusaha barang ataupun jasa di dunia internet akan dikenakan pajak. Pajak yang dikenakan sebesar 0,75 persen dari setiap bisnis usaha yang ditawarkan melalui internet.

"Kami tidak melihat cara memasarkannya, yang penting itu merupakan bisnis usaha. Jadi, bisnis lewat online pun dikenai pajak," ucap Kepala Peraturan Bidang Pemotongan dan Pemungutan PPh Direktorat Jenderal Pajak Dasto Ladyanto di Jakarta, Jumat (23/7/2010).

Menurutnya, tempat usaha itu adalah sesuatu yang sifatnya menetap. Meskipun melalui online, tempat yang dijadikan sebagai penyalur dan pendistribusian barang usaha tersebut pasti ada.

"Biasanya kalau online kan lewat jejaring sosial, seperti Facebook. Tapi kan itu hanya cara pemasarannya. Tempat usahanya sendiri kan ada," tuturnya.

Ditanya mengenai bagaimana cara mengetahui bisnis yang ada di online karena bisnis di dunia maya sangat susah untuk diketahui, ia mengatakan bahwa hal itu tergantung kesadaran dan kejujuran dari pihak pebisnis online untuk melaporkan usaha mereka. "Tergantung mereka," ucapnya.

Pajak Uang Pesangon dan Pensiun Turun

kompas.com, Jum'at 23 Juli 2010

JAKARTA - Tarif pajak penghasilan atas pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan dan jaminan hari tua diturunkan. Tujuannya, supaya mereka yang hidup berbekal uang tersebut dapat lebih sejahtera. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010.

"Diberikan insentif'lah untuk usaha baru atau untuk pensiun. Makanya, ketentuan pajak pun diturunkan," ucap Kepala Peraturan Bidang Pemotongan dan Pemungutan PPh Direktorat Jenderal Pajak Dasto Ladyanto di Jakarta, Jumat (23/7/2010).

Dijelaskannya, jika sebelumnya mereka yang mendapat pesangon, pensiun, atau tunjangan dan jaminan hari tua sampai dengan Rp 50 juta dikenai pajak sebesar lima persen kini menjadi nol persen. Sementara, yang memperoleh Rp 50 juta hingga Rp 100 juta sebelumnya dikenai pajak 10 persen sekarang hanya lima persen.

Selanjutnya, antara Rp 100 juta hingga Rp 500 juta sekarang dikenakan pajak 15 persen, yang dulunya 25 persen. Dan, untuk perolehan di atas Rp 500 juta dikenakan pungutan pajak 25 persen.

Diungkapkannya, uang pesangon ataupun tunjangan pensiun memang sangat diharapkan oleh mereka yang mendapatkannya untuk bertahan hidup, salah satunya adalah dengan membuka usaha.

"Uang pesangon ini memang diharapkan oleh orang kerja, baik yang mengundurkan diri ataupun dipecat. Begitu juga dengan yang sudah pensiun," tuturnya.

Siapa Sih Wajib Pajak OPPT?

kompas.com, Jum'at 23 Juli 2010

JAKARTA - Para pengusaha berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-32/PJ/2010 harus membayar WP OPPT (Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu).

"WP OPPT yaitu wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang pengecer yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha," ucap Dasto Ladyanto, Kepala Peraturan Bidang Pemotongan dan Pemungutan PPh, dalam konferensi pers tentang Kebijakan di Bidang Pajak Penghasilan, Jumat (23/7/2010) di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta.

Dijelaskannya, tiga unsur dalam definisi tersebut yang harus ada apabila harus membayar WP OPPT adalah wajib pajak orang pribadi, pedagang pengecer, dan satu atau lebih tempat usaha.

Wajib pajak orang pribadi adalah wajib pajak yang dikenakan pada orang yang telah memenuhi dua syarat. Pertama, syarat subjektif (lahir dan hidup). Kedua, syarat objektif (penghasilan di atas PTKP).

Pedagang pengecer adalah orang pribadi yang melakukan penjualan baik secara grosir maupun eceran dan/atau orang pribadi yang melakukan penyerahan jasa, melalui suatu tempat usaha.

Tempat usaha adalah sesuatu yang sifatnya menetap, baik itu rumah, ruko, mall, ataupun bisnis melalui online, karena yang dilihat bukan cara pemasarannya. "Jadi, yang pertama dia harus masuk syarat wajib pajak orang pribadi, lalu pedagang pengecer, kemudian punya satu atau lebih tempat usaha," paparnya.

Ditambahkannya, untuk membayar uang pajak tersebut setiap bulannya, jangan pergi ke kantor pajak, namun ke kantor pos atau bank. Jadi, meskipun ada lima usaha bisnis namun cukup pergi ke bank atau kantor pos untuk membayar kelima usaha tersebut sekaligus. "Administrasinya di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) daerah masing-masing tempat usaha," jelasnya.

Senin, 12 Juli 2010

Pemerintah-Bank Indonesia Bahas Tax Holiday

vivanews.com, Senin 12 Juli 2010

Selama dua hari ke depan, tim pemerintah bersama Bank Indonesia akan membahas tingginya investasi masuk ke Indonesia.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, salah satu tema yang akan dibahas adalah insentif pajak atau tax holiday.

"Besok ada rapat, Rabu, dengan BI. Kita ingin membahas kesempatan iklim investasi yang sedang baik sekarang," kata Hatta di Kantor Menko Perekonomian, Senin 12 Juli 2010. Pembahasan ini dianggap perlu karena Indonesia sekarang berada pada posisi yang sedang baik.

Namun demikian, Hatta masih keberatan saat wartawan menanyakan istilah tax holiday. "Apakah ini namanya tax holiday atau apa. Itu kan masih belum diputuskan," kata dia.

Tapi intinya karena momentum sedang baik, pemerintah tidak ingin menghilangkan kesempatan itu. "Bentuknya itu tax insentive, bisa berupa tax holiday, bisa berupa pengurangan, atau apa saja," ujar Hatta.

Hatta menekankan bahwa insentif itu akan diberikan tapi tidak secara general diberikan keseluruhan. Semuanya sangat tergantung investasinya dan di sektor mana.

Pemeirntah dalam memberikan insentif memperhatikan jumlah lapangan kerja yang tercipta dan tempat investasi.

Dalam tim, kata Hatta, pemerintah telah mendiskusikan masalah insentif ini bersama dengan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. (umi)

Pemerintah-Bank Indonesia Bahas Tax Holiday

vivanews.com, Senin 12 Juli 2010

Selama dua hari ke depan, tim pemerintah bersama Bank Indonesia akan membahas tingginya investasi masuk ke Indonesia.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, salah satu tema yang akan dibahas adalah insentif pajak atau tax holiday.

"Besok ada rapat, Rabu, dengan BI. Kita ingin membahas kesempatan iklim investasi yang sedang baik sekarang," kata Hatta di Kantor Menko Perekonomian, Senin 12 Juli 2010. Pembahasan ini dianggap perlu karena Indonesia sekarang berada pada posisi yang sedang baik.

Namun demikian, Hatta masih keberatan saat wartawan menanyakan istilah tax holiday. "Apakah ini namanya tax holiday atau apa. Itu kan masih belum diputuskan," kata dia.

Tapi intinya karena momentum sedang baik, pemerintah tidak ingin menghilangkan kesempatan itu. "Bentuknya itu tax insentive, bisa berupa tax holiday, bisa berupa pengurangan, atau apa saja," ujar Hatta.

Hatta menekankan bahwa insentif itu akan diberikan tapi tidak secara general diberikan keseluruhan. Semuanya sangat tergantung investasinya dan di sektor mana.

Pemeirntah dalam memberikan insentif memperhatikan jumlah lapangan kerja yang tercipta dan tempat investasi.

Dalam tim, kata Hatta, pemerintah telah mendiskusikan masalah insentif ini bersama dengan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. (umi)

TDL Naik, HIPMI Minta Pajak UKM Dipotong

bisnis.vivanews.com, Minggu 11 Juli 2010

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) meminta pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi usaha kecil menengah (UKM) yang bermozet di bawah Rp1,8 miliar. Hal itu agar UKM tetap bisa bersaing pasca kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL).

“HIPMI mengusulkan pemerintah agar menaikkan batasan peredaran bruto atau omzet pengusaha kecil menengah (UKM) bebas PPN dari Rp600 juta menjadi Rp1,8 miliar,” ujar Ketua Umum HIPMI Erwin Aksa dalam rilis yang diterima VIVAnews, Minggu 11 Juli 2010.

HIPMI menilai kenaikkan TDL terhadap UKM lebih dari 45 persen nantinya akan berdampak serius kepada arus kas pelaku UKM. Itu sebabnya, pemerintah perlu menaikkan batasan omzet UKM tidak kena PPN menjadi di bawah Rp1,8 miliar.

“Keuntungannya, lebih banyak lagi UKM bisa mengatasi arus kas mereka kalau batasannya dinaikkan, sebab omzet UKM di atas Rp1,8 miliar per tahun yang banyak menyerap tenaga kerja. Mereka juga yang menggerakan sektor konsumsi sehingga bisa mencegah meningkatnya inflasi,” tegas Erwin.

Adanya kenaikan TDL menurut HIPMI akan memukul dunia usaha, terutama UKM. Untuk itu HIPMI berhartap agar UKM dapat memperoleh insentif fiskal dan biaya modal yang rendah agar bisa terus bersaing.(np)

Sebelumnya Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 571/KMK.03/2003 tanggal 29 Desember 2003 menyatakan batasan PPN pengusaha kecil dalam Pasal 1, adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600 juta.

Export Business May Apply Transfer Pricing

en.vivanews.com, Friday July, 9 2010

The Directorate General of Taxes reveals that companies in Indonesia that administers export trade and controlled from overseas could potentially carry out transfer pricing. The businesses include automotive, mining and palm oil products.

“Basically everything exported and controlled overseas may conduct transfer pricing,” the directorate’s tax investigation and billing director Otto Endi Panjaitan said on July 9.

Meanwhile, Indonesia-based companies, which are also managed domestically, carry a small possibility to do transfer pricing.

Panjaitan also said transfer pricing issue was rather complicated. Some of the companies that pull off transfer pricing run business in tax haven countries.

“There, they establish companies and if they gain high profit, they don’t have to pay taxes,” he said. Thus, trans-national coordination is required to solve the problem.

The taxes directorate has kept written policies to overcome the internal issue. Gradually, there are always training sessions for tax officers through seminars, in-house training and international information exchange.

Minggu, 11 Juli 2010

Dari Hasil Pemeriksaan Ditjen Pajak Raup Rp 1,2 Triliun

kompas.com, Jum'at 9 Juli 2010

JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak berhasil menghasilkan pemasukan pajak dari hasil pemeriksaan sebesar Rp 1,2 triliun. Dana segar (fresh money) sebesar itu didapatkan dari 20.717 laporan hasil pemeriksaan (LHP).

Demikian dibeberkan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak II Ditjen Pajak Otto Endy Panjaitan, di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (9/7/2010).

"Pemeriksaan LHP sampai dengan akhir Juni 2010, dari 20.717 pemeriksaan penerimaan pajak dihasilkan sebesar Rp. 1,241 triliun," katanya.

Seperti diungkapkannya kepada wartawan, jumlah sebesar itu masih jauh dari target pendapatan pajak yang direncanakan dari hasil pemeriksaan 2010. Untuk tahun 2010 ditargetkan penerimaan pajak dari pemeriksaan sebesar Rp 9 triliun. Ini menurutnya, naik dari target tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 7 triliun.

Kok sedikit? Menurut Otto itu dikarenakan pemeriksaan yang masih terus berlanjut. Dan sampai akhir tahun 2010 nanti, pihaknya optimis target tersebut dapat diperoleh.

“Rendahnya realisasi sampai pertengahan tahun memang karena pemeriksaan itu on going proses. Rata-rata pemeriksaan itu butuh waktu sekitar 8 bulan. Jadi jika pemeriksaan dimulai awal tahun, maka setidaknya banyak yang berakhir di bulan Agustus. Jadi menurut pengalaman kami, realisasi memang banyak numpuknya di akhir tahun,” ujar Otto.

Sabtu, 10 Juli 2010

Jumlah Pemeriksa Pajak Jauh dari Ideal

m.mediaindonesia.com, Jum'at 9 Juli 2010

JAKARTA - Pemeriksa pajak per Juni 2010 baru di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan baru mencapai 4.382 orang. Mayoritas sebanyak 2.843 atau 64,88% terkonsentrasi di Pulau Jawa. Angka ini dinilai jauh dari jumlah ideal yakni 8.000 orang.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pemeriksaan Pajak Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Otto Endy Panjaitan di Jakarta, Jumat (9/7). "Artinya masih ada selisih sebesar 3.618 orang atau 45,22%," ungkap Otto.

Bahkan hingga periode Desember 2009, jumlah pemeriksa pajak hanya 2.744 orang. Karenanya, pada Januari 2010, Dirjen Pajak merekrut terhadap 1.683 pegawai pajak dimasukkan dalam direktorat pemeriksaan.

Jumlah pemeriksaan selesai per Juni 2010 sebanyak 20.717 unit. Hasilnya, penerimaan pajak sebesar Rp1,241 triliun dan jumlah lebih bayar yang diklaim wajib pajak tapi berhasil dipertahankan oleh pemeriksa (refund discrepancy) sebesar Rp3,58 triliun. "Sampai akhir tahun, kami menargetkan pemeriksaan pajak sebesar Rp9 triliun," ungkapnya.

Dengan aparat yang minim tersebut membuat pemeriksaan pajak tidak terperiksa seluruhnya. Dari total sekitar 16 juta wajib pajak, sebanyak 13 juta merupakan wajib pajak dari perusahaan sehingga menyisakan 3 juta wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan. "Nah, dari jumlah yang 3 juta itu baru ter-cover hanya 0,3 persen saja. Tahun ini kami menargetkan bisa memeriksa hingga 0,5 persen," ujarnya.

Secara spesifik, aparat yang ahli dalam bidang transfer pricing juga masih minim. Otto mengungkapkan bahwa saat ini hanya terdapat 40 pemeriksa yang ahli dalam transfer pricing. "Mestinya setiap pemeriksa harus menguasai pengetahuan transfer pricing," ungkap Otto. Namun, direktoratnya sudah menyiapkan sumber daya di bidang transfer pricing sebanyak 1.015 orang yang nantinya akan tersebar di kantor pajak di seluruh Indonesia.

Dirjen Pajak juga akan menempatkan 15 intelijen di luar negeri untuk mengatasi adanya praktik transfer pricing. Dengan minimnya sumber daya tersebut, hingga Juni 2010, penanganan kasus transfer pricing juga minim. Yang ditangani oleh Ditjen Pajak pusat hanya 40 kasus.

Untuk terus memerangi praktik transfer pricing, pihaknya juga terus melakukan koordinasi dengan instansi lainnya serta institusi yang perpajakan di negara lain. Ia juga terus melakukan dengan sektor perbankan untuk membuka informasi transaksi pihak-pihak yang melakuan praktik transfer pricing.

Fokus pemeriksaan nasional 2010 adalah sektor pertambangan dan jasa pertambangan minyak dan gas bumi, industri semen, kapur dan gips, serta barang-barang dari semen dan kapur, industri logam dasar, konstruksi, penjualan, pemeliharaan, dan reparasi mobil dan sepeda motor, penjualan eceran bahan bakar kendaraan, sektor perdagangan besar dalam negeri, kecuali perdagangan mobil dan sepeda motor selain ekspor dan impor.

Kemudian sektor perdagangan eceran, kecuali mobil dan sepeda motor, reparasi barang-barang keperluan pribadi dan rumah tangga, perdagangan ekspor, kecuali perdagangan mobil dan sepeda motor, perdagangan impor, kecuali perdagangan mobil dan sepeda motor, hotel berbintang, restoran rumah makan, bar dan jasa boga, telekomunikasi, perantara keuangan kecuali asuransi dan dana pensiun, real estate, dan jasa periklanan. (ST/OL-5)

Realisasi Penagihan Pajak 2010 Rp10,78 triliun

m.mediaindoesia.com, Jum'at 9 Juli 2010

JAKARTA - Realisasi penagihan pajak yang tertunggak (piutang) selama enam bulan pertama 2010 mencapai Rp10,78 triliun dari target tahun ini yang dipatok sebesar Rp16,4 triliun. Bahkan, Ditjen pajak telah menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp1,241 triliun.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Otto Endy Panjaitan di Jakarta, Jumat (9/7). Menurut dia, per 1 Januari 2010, tercatat tunggakan pajak yang harus ditagih sebesar Rp49,99 triliun. Hingga 30 Juni 2010, terdapat penambahan tunggakan pajak hingga Rp20,48 triliun.

"Total tunggakan sekitar Rp70 triliun, berkurang Rp10,78 triliun. Jadi saldo piutang pajak saat ini menjadi Rp59,69 triliun," ujarnya.

Otto menjelaskan, tindakan penagihan yang cukup efektif dengan pemblokiran rekening sebelum dilakukan pentitaan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank. Selain itu, pihaknya juga melakukan pencegahan terhadap penanggung pajak untuk bepergian ke luar negeri dan penyanderaan terhadap penanggung pajak.

"Tindakan penyenderaan dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya penagihan terakhir," tuturnya. Di samping itu, Ditjen Pajak juga telah melakukan MoU dengan Polri terkait dengan mekanisme penyanderaan dan penyitaan para wajib pajak yang tidak taat.

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100 juta serta diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. "Pada 2009, telah dilaksanakan penyanderaan terhadap satu penanggung pajak dengan hasil pencairan sebesar Rp3 miliar," tuturnya.

Namun, jika dilihat dari penerimaan pajak, Ditjen pajak hanya menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp1,241 triliun. Jumlah sebesar itu masih jauh dari target pendapatan pajak yang direncanakan dari hasil pemeriksaan 2010. Untuk 2010 ditargetkan penerimaan pajak dari pemeriksaan sebesar Rp9 triliun.

Rendahnya penerimaan pajak ini dikarenakan pemeriksaan yang masih terus berlanjut. Sampai akhir tahun, pihaknya optimistis target tersebut dapat diperoleh. Rendahnya realisasi sampai pertengahan tahun memang karena pemeriksaan itu masih dalam proses.

"Rata-rata pemeriksaan itu butuh waktu sekitar delapan bulan. Jadi jika pemeriksaan dimulai awal tahun, maka setidaknya banyak yang berakhir di Agustus. Jadi menurut pengalaman kami, realisasi memang banyak numpuk di akhir tahun, ujar Otto.

Meskipun penerimaan masih jauh dari target, Ditjen Pajak berhasil mempertahankan jumlah lebih bayar (restitusi) yang diklaim wajib pajak (WP) sebagai penerimaan pajak sampai pertengahan 2010 sebesar Rp3,58 triliun. "Kami sampai 30 Juni 2010 berhasil mempertahankan Rp3,58 triliun jumlah lebih bayar (restitusi) yang diklaim Wajib Pajak (WP). Ini juga merupakan salah satu prestasi juga kan," jelasnya. (ST/OL-5)

Realisasi Penagihan Pajak 2010 Rp10,78 triliun

m.mediaindoesia.com, Jum'at 9 Juli 2010

JAKARTA - Realisasi penagihan pajak yang tertunggak (piutang) selama enam bulan pertama 2010 mencapai Rp10,78 triliun dari target tahun ini yang dipatok sebesar Rp16,4 triliun. Bahkan, Ditjen pajak telah menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp1,241 triliun.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Otto Endy Panjaitan di Jakarta, Jumat (9/7). Menurut dia, per 1 Januari 2010, tercatat tunggakan pajak yang harus ditagih sebesar Rp49,99 triliun. Hingga 30 Juni 2010, terdapat penambahan tunggakan pajak hingga Rp20,48 triliun.

"Total tunggakan sekitar Rp70 triliun, berkurang Rp10,78 triliun. Jadi saldo piutang pajak saat ini menjadi Rp59,69 triliun," ujarnya.

Otto menjelaskan, tindakan penagihan yang cukup efektif dengan pemblokiran rekening sebelum dilakukan pentitaan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank. Selain itu, pihaknya juga melakukan pencegahan terhadap penanggung pajak untuk bepergian ke luar negeri dan penyanderaan terhadap penanggung pajak.

"Tindakan penyenderaan dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya penagihan terakhir," tuturnya. Di samping itu, Ditjen Pajak juga telah melakukan MoU dengan Polri terkait dengan mekanisme penyanderaan dan penyitaan para wajib pajak yang tidak taat.

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100 juta serta diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. "Pada 2009, telah dilaksanakan penyanderaan terhadap satu penanggung pajak dengan hasil pencairan sebesar Rp3 miliar," tuturnya.

Namun, jika dilihat dari penerimaan pajak, Ditjen pajak hanya menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp1,241 triliun. Jumlah sebesar itu masih jauh dari target pendapatan pajak yang direncanakan dari hasil pemeriksaan 2010. Untuk 2010 ditargetkan penerimaan pajak dari pemeriksaan sebesar Rp9 triliun.

Rendahnya penerimaan pajak ini dikarenakan pemeriksaan yang masih terus berlanjut. Sampai akhir tahun, pihaknya optimistis target tersebut dapat diperoleh. Rendahnya realisasi sampai pertengahan tahun memang karena pemeriksaan itu masih dalam proses.

"Rata-rata pemeriksaan itu butuh waktu sekitar delapan bulan. Jadi jika pemeriksaan dimulai awal tahun, maka setidaknya banyak yang berakhir di Agustus. Jadi menurut pengalaman kami, realisasi memang banyak numpuk di akhir tahun, ujar Otto.

Meskipun penerimaan masih jauh dari target, Ditjen Pajak berhasil mempertahankan jumlah lebih bayar (restitusi) yang diklaim wajib pajak (WP) sebagai penerimaan pajak sampai pertengahan 2010 sebesar Rp3,58 triliun. "Kami sampai 30 Juni 2010 berhasil mempertahankan Rp3,58 triliun jumlah lebih bayar (restitusi) yang diklaim Wajib Pajak (WP). Ini juga merupakan salah satu prestasi juga kan," jelasnya. (ST/OL-5)

Jumat, 09 Juli 2010

Manajer Investasi Antisipasi PPh Bunga Obligasi Reksa Dana 5%

www.detikfinance.com, Jum'at 9 Juli 2010
Whery Enggo Prayogi

Jakarta
- Para Manajer Investasi (MI) sudah mengantisipasi memberlakukan tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% atas bunga obligasi pada instrumen investasi reksa dana, hingga tidak terjadi perubahan yield untuk setiap produk mereka.

Demikian disampaikan Ketua APRDI Abipriyadi Riyanto kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (9/7/2010).

"Teman-teman MI sudah antisipasi dengan mendesain reksa dana sedemikian rupa sehingga sejak berdiri sampai jatuh tempo, produk tidak ada perubahan yield," ucap Abi.

Menurutnya, pajak atas instrumen investasi lain masih lebih besar dibandingkan produk reksa dana. Hingga 5% tidak terlalu dipermasalahkan para MI. "Harusnya tidak berdampak banyak, karena reksa dana masih better off dibanding yang lain, yang kena pajak lebih besar. Jadi harapannya investor reksa dana tetap tenang karena semua sudah diantisipasi," ucapnya.

Direktorat Jenderal Pajak memang tengah mensosialisasikan pemberlakuan PPh sebesar 5%, yang dinilai sebagian pengelola reksa dana sangat memberatkan. Pemotongan pajak diberlakukan sesuai dengan peraturan terbaru dalam undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang PPh.

Namun dampak pembebanan 5% belum terlalu terasa, jika dibandingkan saat tahun 2014, yang rasionya meningkat hingga 5%.

"Akan berdampak kepada reksa dana obligasi. Namun di tahun 2011 dengan penerapan (pajak) 5% tidak begitu terasa. Yang paling terasa di 2014, saat pemberlakuan sudah full 15%," jelas Direktur Utama PT Schroder Invesment Management Indonesia, Michael Tjoajadi beberapa waktu lalu.

Peningkatan beban pajak, diprediksi akan mengurangi volume transaksi dan memiliki dampak psikologis kepada investor.

Senin, 05 Juli 2010

Semester I, Penerimaan Negara Rp264,1 Triliun

vivanews.com, Sabtu 3 Juli 2010

Antique, Agus Dwi Darmawan

Penerimaan negara dari sektor pajak mulai merangkak naik. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), penerimaan semester I-2010 atau per Juni telah mencapai Rp264,1 triliun.

Sumihar Petrus Tambunan, direktur Kepatuhan dan Potensi Penerimaan Dirjen Pajak mengatakan penerimaan sebesar itu sudah mencapai 44,5 persen dibanding target penerimaan APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) sebesar Rp661 triliun. Penerimaan 44,5 persen ini sudah dihitung berikut dengan PPh migas.

Menurutnya, kalau penerimaan dihitung hanya untuk penerimaan negara tanpa migas (non migas) maka pencapaiannya sudah 43,5 persen dari target atau sebesar Rp263 triliun.

"Apakah ini sudah baik? Kalau secara persentasenya cukup baik," kata Petrus di Kantor Pajak, Jumat malam 2 Juli 2010.

Petrus menambahkan, dibanding tahun lalu pada periode yang sama pencapaian penerimaan negara non migas hanya 42,7 persen. Sedangkan kalau dihitung dengan migas pencapaiannya adalah 43,8 persen.

"Jadi, tahun ini pada semester I-2010 penerimaan 44,5 persen itu. Cukup baik, karena dari sisi non migasnya ada kenaikannya 0,8 persen," katanya.

Mudah-mudahan, Petrus menuturkan, pada bulan-bulan selanjutnya penerimaan negara akan lebih baik lagi, sehingga penerimaan negara bisa mencapai 100 persen.

Sebab artinya, dia melanjutkan, dengan semakin banyaknya penerimaan, belanja-belanja apakah itu untuk infrastruktur atau lainnya juga makin baik.

Menurut Petrus, penerimaan negara sampai semester satu ini kalau dilihat per jenis pajaknya untuk PPh non migas sangat baik, yakni mencapai 48,23 persen dari yang direncanakan, untuk PPN dan PPnBM 37,83 persen, PBB 44,97 persen, pajak lainnya 42 persen, dan PPh migas 55,32 persen.

"Ini suatu periode yang menggembirakan di saat-saat kita banyak tantangan, realisasi penerimaan dari jumlahnya yang ada sangat mengembirkan," katanya.

Petrus juga mengungkap bahwa melihat dari tren yang ada penerimaan negara ke depannya semakin baik. Sebab, kalau dengan pencapaian tersebut, artinya kekurangan penerimaan adalah 55,5 persen. Sementara itu, biasanya menjelang akhir-akhir tahun, penerimaan terus meningkat.

"Apalagi pada periode menjelang tahun baru, lebaran, natalan, di mana konsumsi meningkat. Ini akan meningkatkan PPN dari transaksi," kata dia.

Nanti, Petrus melanjutkan, selain PPN juga ada PPh. Sebab, di akhir tahun ada banyak pembagian bonus, dividen, tantiem, dan berbagai macam lainnya. (umi)

Prohibited, Cigarettes Share Much from Tax

vivanews.com, Friday 2 July 2010

Arinto Tri Wibowo, Agus Dwi Darmawan

Regardless the ‘haram’ (prohibited) labeling by Muhammadiyah and the boycott against Indonesian clove flavored cigarettes in the United States, the amount of tax on the products in June 2010 does not seem to be affected.

According to the Customs and Excise Directorate General, the tax revenue per June 28, 2010 has gone five percent over the target.

“Our statistic indicated that from the target of Rp 29.3 trillion, we have earned Rp 31.03 trillion,” Customs and Excise Director General Thomas Sugijata said at the Finance Ministry office in Friday, July 2.

He also said the tax is the institution’s biggest earning. According to him, the prohibitions have not shown their impact considering the overachievement.

Meanwhile, around 90 percent of customs income was coming from tobacco tax. Out of this year’s total target of Rp 59 trillion, approximately Rp 55 trillion was earned from tobacco tax while the rest was obtained from alcohol, etilalcohol and other types of products.

Sugijata also pointed out that in general, the Customs and Excise Directorate had up to 106.11 excess revenue as of June 28.

In details, other kinds of revenues besides the taxes are imported goods tax, which per June last year made Rp 9.2 trillion, going higher than the target of Rp 7.4 trillion.

“So, until June, we’ve received more than 23.19 percent off the target (123 percent)” Sugijata said.

As for exported goods tax, the target has not been fulfilled because out of Rp 2.7 trillion target, the income was only worth Rp 1.7 trillion or 31.94 percent of the target.

“That’s because of the policies for domestic protection, such as the one for the crude palm oil. It depends on the policy regarding the amount of standard export and tariff determined by other departments. The Customs and Excise Directorate can’t control that”.

Baru 7,7 Juta Wajib Pajak Setor SPT

Vivanews.com, Sabtu 3 Juli 2010

Antique, Agus Dwi Darmawan

Direktorat Jenderal Pajak mencatat per 30 April 2010 baru sebanyak 7,73 juta wajib pajak yang menyerahkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Jumlah ini hanya 54,84 persen dari jumlah wajib pajak terdaftar yang mencapai 14,101 juta.

Meski baru setengah, menurut Direktur Kepatuhan dan Potensi Penerimaan Ditjen Pajak Sumihar Petrus Tambunan, angka tersebut sudah cukup baik. Pasalnya, bila dibanding tahun-tahun sebelumnya, angka penyerahan SPT tahun ini lebih tinggi.

"Tahun 2009 dengan wajib pajak 10 juta, angka yang melapor SPT hanya 52,61 persen atau sekitar 5,4 juta wajib pajak," kata Petrus di Kantor Pajak, Jumat malam, 2 Juli 2010.

Bisa dibilang dua tahun belakangan ini, kata dia, tingkat kepatuhan wajib pajak sudah mulai menunjukkan kepedulian dengan kewajiban pajak. Meski belum seberapa namun rasio tahun 2009 dan 2010 tercatat dua kali lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Sebagai perbandingan Data Direktorat Jenderal Pajak rasio kepatuhan penyampaian SPT tahunan PPh sejak tahun 2004 adalah 34,02 persen dari total 3,14 juta wajib pajak, 2005 sebanyak 33,51 persen dari 3,53 juta wajib pajak, 2006 sebanyak 30,38 persen dari total 4,08 juta wajib pajak, 2007 sebanyak 28,55 persen dari total 4,478 juta wjaib pajak dan tahun 2008 sebanyak 30,96 persen dari total 6,776 juta wajib pajak.

Petrus menuturkan, untuk meningkatkan rasio kepatuhan ini, kantor pajak terus melakukan inventarisasi terhadap wajib pajak dan pengusaha kena pajak yang tidak atau belum menyampaikan SPT tahunan PPh dan SPT masa PPN untuk tahun masa pajak sebelumnya.

Tak hanya itu, kantor pajak juga berencana memberikan sosialisasi perpajakan bagi wajib pajak yang telah memegang kartu NPWP (nomor pokok wajib pajak). Pasalnya, banyak di antara wajib pajak yang telah memiliki NPWP, ternyata dalam realitanya belum memahami masalah pajak.

"Mereka menganggapnya ada kartu NPWP seperti kartu kredit saja, masuk kantong lalu dengan senang hati pergi keluar negeri bebas tak bayar fiskal," kata Petrus mencanda. "Jadi, nanti kami mau sosialisasi," kata dia.

Untuk menyadarkan dan mengingatkan, kantor pajak juga berencana mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada 1.000 wajib pajak orang pribadi potensial uang SPT tahunannya diterima tepat waktu.

"Ini tanda terima kasih saja tapi juga mengingatkan. Jadi, misal nanti bapak terima kasih telah menyampaikan SPT dengan nomor sekian, ke alamat ini dan sebagainya," kata dia. (sj)

Juni, Pajak Orang Pribadi Tak Sampai Rp2 T

vivanews, Sabtu 3 Juli 2010

Antique, Agus Dwi Darmawan

Hingga semester I usai (per Juni 2010), penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan (PPh) masih didominasi pajak penghasilan badan (PPh badan) dibanding pajak penghasilan orang pribadi (PPh orang pribadi).

Sumihar Petrus Tambunan, direktur Kepatuhan dan Potensi Penerimaan Ditjen Pajak menuturkan, per Juni 2010 PPh badan yang masuk sudah mencapai Rp72,62 triliun atau 57,34 persen dari rencana setahun. Sedangkan untuk realisasi PPh orang pribadi sejauh ini baru Rp1,94 triliun atau sekitar 45,22 persen dari rencana setahun.

"Jumlah PPh orang pribadi memang kecil tapi kami tidak kecil hati," ujar Petrus di Kantor Pajak, Jumat malam 2 Juli 2010.

Menurut Petrus, tidak tingginya target pajak penghasilan orang pribadi karena perhitungannya didasarkan realisasi tahun lalu yang masih kecil. Untuk tahun ini, Ditjen Pajak mentargetkan perolehan pajak dari PPh badan adalah Rp126,65 triliun sedang untuk PPh orang pribadi sebesar Rp4,29 triliun.

Porsi sumbangan terhadap penerimaan pajak penghasilan ini kalau diperbandingkan, persentasenya signifikan. Namun Petrus mengakui, orang pribadi juga dikenakan pajak PPh pasal 21 yang sampai per Juni 2010, nilainya sudah Rp25,54 triliun atau 41,48 triliun dari target setahun sebesar Rp61,57 triliun.

"Jadi, tidak jomplang-jomplang amat," kata Petrus berbahasa Jawa menunjukkan bahwa peran pajak orang pribadi yang terus meningkat dari tahun ketahun.

Ke depan, lanjut Petrus, kantor pajak masih akan terus melakukan kegiatan ekstensifikasi untuk meningkatkan penerimaan pajak yang bersumber dari orang pribadi.

Di antaranya, kata dia, kantor pajak akan menyisir pemilik toko di komplek pertokoan strategis dan beberapa tempat lain. Penyisiran juga dilakukan di komplek elit, dan beberapa properti mewah lain. (sj)