Sabtu, 04 Desember 2010

Supaya Adil, Punya Mobil Banyak Pajaknya Tinggi

detikfinance.com, Jum'at 3 Desember 2010

Jakarta - Pemberlakuan pajak progresif kendaraan bermotor roda empat adalah bentuk azas keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang punya banyak mobil akan kena pajak lebih tinggi.

"Saya kira itu azas keadilan. Segala sesuatu yang menimbulkan value added (nilai tambah) ada unsur tax disitu, dan ketentuan ini berlaku secara universal," ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa saat ditemui Gedung Smesco, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (3/12/2010).

Dengan adanya penerapan pajak tersebut, lanjutnya, diharapkan bisa menekan kemacetan di Jakarta karena bisa mengurangi jumlah kendaraan bermotor.

"Saya kira itu menolong (kemacetan) untuk jangka panjang," pungkasnya.

Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan penerapan tarif pajak progresif bagi kendaraan bermotor mulai tanggal 1 Januari 2011. Saat ini, rancangan peraturan daerah yang mengatur hal tersebut, yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Dalam rancangan tersebut, ditetapkan bahwa bagi kepemilikan kendaraan pertama dikenakan pajak 1%, kendaraan kedua 2%, kendaraan ketiga 2,5%, dan kendaraan keempat dan selanjutnya sebesar 4%.

Pemerintah Bebaskan Biaya Fiskal Mulai 2011 Karena Malu

detikfinance.com, Sabtu 4 Desember 2010

Bogor
- Mulai 1 Januari 2011, pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan menghapuskan biaya fiskal perjalanan ke luar negeri. Alasannya karena malu. Malu kenapa?

Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan, dalam era globalisasi saat ini, memalukan jika suatu negara masih menerapkan tarif fiskal untuk perjalanan ke luar negeri.

"Malu juga mempertahankan fiskal luar negeri ini (sekarang)," ujar Robert dalam acara Sosialisasi Perpajakan di Bogor, Sabtu (4/12/2010).

Robert menjelaskan, biaya fiskal luar negeri ini sudah tidak layak lagi diberlakukan karena kondisinya yang berbeda dibandingkan sewaktu mulai diberlakukannya fiskal ini.

Dulu, kebijakan ini digunakan untuk menjaring masyarakat untuk bersedia mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Namun sekarang, kebijakan tersebut sudah dianggap berhasil guna meningkatkan jumlah wajib pajak.

"Jadi kebijakan ini guna menjaring masyarakat secara volunteer mendorong, untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak. Kan nanti orang mikir kalau punya NPWP bisa dibebaskan fiskal, jadi mau daftar," jelasnya.

Selain itu, kebijakan fiskal ini dulunya digunakan untuk menghalangi orang kaya menghabiskan uangnya di luar negeri. Serta turut mengembangkan pariwisata dalam negeri.

"Awal sekali adanya kebijakan ini untuk merem supaya tidak gampang orang-orang kaya menghabiskan uangnya di luar negeri. Selain itu dihalang-halangi bertamasya ke luar negeri, sehingga wisata ke dalam saja," ujar Robert.

Namun, pada saat ini, lanjut Robert, tidak layak lagi menghalang-halangi seseorang untuk bertamasya ke luar negeri dan wisata Indonesia pun juga memiliki daya tarik tersendiri.

"Tapi kita tidak bisa menghalang-halangi pada globalisasi, tapi pasti wisata Indondesia punya yang ditonjolkan," jelasnya.

Robert juga mengungkapkan dengan dihapuskannya kebijakan fiskal luar negeri ini mampu menghilangkan potensi manipulasi nilai fiskal yang dilakukan antara aparat pajak dan masyarakat.

"Insiden dimanipulasi juga, baik dari aparat kami maupun orang bisa mempermainkan fiskal tapi praktik ini akan hilang (dengan kebijakan penghapusan fiskal luar negeri)," ujarnya.

Robert menyatakan tidak ada kekhawatiran dari pihaknya terhadap penghapusan fiskal ini terhadap penerimaan negara. Pasalnya, sumbangan fiskal luar negeri tidak begitu signifikan.

"Waktu diterapkan fiskal luar negerti telah berhasil mendapatkan Rp1,5-3 triliun per tahun. Sumbangan ke pemerintah memang ada tapi tidak terlalu signifikan," pungkasnya.

Kamis, 02 Desember 2010

Pajak Progresif Kendaraan Berlaku Mulai 2011

ortax.org, Koran Tempo, 2 Desember 2010

JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan akan memberlakukan tarif pajak progresif mulai 1 Januari 2011 bagi subyek pajak yang memiliki kendaraan roda empat lebih dari satu. Tarif pajak progresif yang diberlakukan berkisar 1,5 persen hingga 4 persen dari harga kendaraan tersebut.

"Drafnya sudah disetujui Dewan. Saat ini sedang dalam proses penomoran untuk dijadikan peraturan daerah," kata Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta Arif Susilo kemarin.

Pemberlakuan tarif pajak progresif dilakukan sebagai bentuk upaya mengatasi kemacetan di Jakarta. "Karena subyek pajak akan berpikir ulang sebelum membeli kendaraan lebih dari satu," ujar Arif.

Ia menjelaskan, pajak ini berlaku untuk semua jenis kendaraan tambahan yang dimiliki subyek pajak, berdasarkan nama individu dan atau alamatnya. Mobil tambahan yang harganya murah atau yang tahun pembuatannya sangat tua pun akan dikenai pajak ini.

Besaran tarifnya dimulai dari 1 persen untuk kepemilikan kendaraan pertama, dan 2 persen untuk kendaraan kedua. Tarif akan meningkat jadi 2,5 persen bagi kendaraan ketiga, sedangkan kendaraan keempat hingga seterusnya sebesar 4 persen.

"Besaran tarif ini relatif lebih rendah dibanding ketentuan yang tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah," Arif menambahkan. "Dalam undang-undang itu disebutkan besaran tarif sebesar 10 persen. Namun setiap kota dan daerah seluruh Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan besarannya berdasarkan potensi masing-masing."

Pemerintah DKI Jakarta melihat potensi pajak yang hendak menjadi sasaran sebesar 10 persen hingga 20 persen dari jumlah total pemilik kendaraan. Adapun data dari Polda Metro Jaya menunjukkan pertumbuhan volume kendaraan di Jakarta terus meningkat.

Pada 2007, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota sebesar 14,61 persen untuk motor dan 6,73 persen untuk mobil. Komisi Kepolisian Indonesia juga mencatat jumlah penduduk DKI Jakarta pada Maret 2009 sebesar 8,5 juta jiwa, dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar hingga Juni 2009 mencapai 9,99 juta. Itu artinya, satu keluarga memiliki paling tidak 3 kendaraan bermotor.

Jakarta Akan Tarik Pajak Juragan Warteg

kompas.com, Kamis 2 Desember 2010

JAKARTA — Anda suka makan di warung pinggir jalan yang lazim disebut warteg, akronim dari warung tegal?

Bersiaplah membayar harga makanan lebih tinggi karena mulai tahun depan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menyuruh juragan warteg membayar pajak daerah.

Ketentuan itu berlaku setelah DPRD DKI Jakarta menyetujui rencana penerapan pajak restoran terhadap segala jenis tata boga di Jakarta sebesar 10 persen.

Penetapan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak ini berlaku untuk seluruh jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari.

"Mulai Januari 2010, harga setiap makanan dan minuman yang ada di warung tegal akan menjadi lebih mahal karena dikenai pajak sebesar 10 persen dari harga biasanya. Itu termasuk warteg, rumah makan padang, dan rumah makan yang usahanya maju," kata Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arief Susilo, Rabu (1/12/2010).

"Warteg kan penghasilannya cukup baik, ini untuk menaikkan penerimaan daerah. Kami tidak melihat informal atau formal, yang pasti di atas 60 juta rupiah," tambah Arief.

Arief mengimbau pemilik rumah makan yang sesuai dengan ketentuan pemberlakuan pajak itu untuk mendaftarkan diri sebagai obyek pajak.

Jika memenuhi syarat, para pemilik usaha rumah makan ini akan mendapatkan nomor wajib pajak. Dengan demikian, lanjut Arief, mereka dapat menyetorkan pajak ke kantor Badan Pengelola Keuangan Daerah melalui unit kas daerah di setiap kecamatan.

Ketua Komisi Keuangan DPRD DKI Ridho Kamaludin membenarkan, penerapan pajak ini tidak dispesifikasikan pada jenis usaha kuliner tertentu. Namun, ia meragukan optimalisasi kebijakan tersebut karena belum ada sosialisasi ke usaha boga berskala kecil.

"Untuk itu jika ada usaha boga yang hendak melakukan protes atas kebijakan ini, dapat disampaikan kepada Dinas Pelayanan Pajak," kata Ridho.