Selasa, 22 Februari 2011

"Justru Pajak Film Luar Untungnya Buat Kita"

okezone.com, Senin 21 Februari 2011

JAKARTA -
Langkah pemerintah yang memberlakukan penghitungan ulang terhadap bea masuk film asing dinilai Jessica Jesi Iskandar sebagai langkap tepat.

"Kalau tujuannya baik, positif saja. Cuma paling, efek-efeknya kayak film, jadi enggak tayang itu yang aku sesali. Tapi untuk kenaikan pajak wajar-wajar saja. Justru naiknya pajak itukan (film luar) digunakan untuk membangun negara kita. Jadi kalau misalkan naik dalam angka yang wajar, sah-sah aja," papar Host Tamu Dahsyat ini ditemui di RCTI, Senin (21/2/2011).

Menurut perempuan yang hobi menghabiskan waktu dengan menonton film hollywood, justru senang jika film barat tidak lagi tayang di Indonesia. Lantaran peluang pekerjaan dalam bidang akting di dalam negeri lebih terbuka lebar.

"Artinya, semakin banyak lowongan kerja karena pasti semakin banyak film Indonesia yang akan keluar," tandasnya.

Pelantun Surat Cinta itu meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah terkait langkah MPA (Motion Pictures Association) yang ingin menarik film Hollywood dari tanah air. Langkah ini pun sudah disusul oleh importir film Bollywood dan juga Hong Kong.

"Coba saja diambil jalan tengahnya. Kalau bisa jangan sampai tidak ada juga film Hollywood, karena kalau bioskopnya cuma ada film Indonesia, kasihan bioskopnya. Kan enggak semua orang suka menikmati film Indonesia," harapnya.(nov)

Film Impor Pergi, Pajak Daerah Pun Turun

kompas.com, Senin 21 Februari 2011

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak dan bea masuk bagi film-film impor mengancam banyak distributor mundur atau kemungkinan lainnya bisa berdampak terhadap naiknya tiket menonton di bioskop apabila distributor menaikkan harga kepada pengelola bioskop. Kedua hal ini bisa berdampak pada turunnya minat masyarakat untuk menonton ke bioskop.

Hal itulah yang kemudikan dikhawatirkan Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan Setiawan. "Kami khawatir dengan turunnya minat masyarakat ke bioskop akan menurunkan penerimaan pajak daerah, yaitu pajak hiburan," ucap Iwan, Senin (21/2/2011), saat dihubungi wartawan.

Dia mengatakan, penerimaan daerah dari sektor pajak hiburan di Jakarta cukup besar, yakni mencapai Rp 300 miliar. "Dari jumlah itu 40-50 persennya hasil kontribusi pajak yang diserahkan dari bioskop seperti 21 Cineplex. Apalagi di Jakarta sudah ada ratusan bioskop," ungkapnya.

Iwan menuturkan, kondisi film nasional saat ini masih belum bisa menggantikan posisi film impor yang cukup laris bagi warga kota. "Dilihat dari segi minat menonton saja, coba dilihat apakah masyarakat kota besar itu lebih besar ke film nasional atau film-film Hollywood?" kata Iwan.

Apabila film-film nasional saat ini hanya berorientasi bisnis tanpa disertai kualitas, maka mau tidak mau masyarakat akan tetap memilih film-film impor. "Dengan minimnya masyarakat menonton ini, tidak hanya DKI saja yang terkena dampaknya, tapi beberapa kabupaten dan kota seperti Bandung, Depok juga akan terkena dampak (penurunan pajak daerah)," ujarnya.

Sebelumnya, Motion Pictures Association (MPA) keberatan atas kebijakan pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) tentang Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Di dalam aturan itu disebutkan, bea masuk film sebesar 5-15 persen. Aturan yang ditetapkan pada 22 Desember 2010 itu membedakan tarif berdasarkan ukuran, jenis, dan bahan film impor.

Kebijakan bea masuk film impor tertuang dalam SE-03/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan royalti dan perlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) atas peredaran film impor. Pihak distributor juga dibebani tarif PPN dan PPh atas film impor flat sebesar USD0,43 atau setara dengan Rp 3.870, per meter.

Kebijakan itulah yang langsung mendapatkan protes dari MPA sebagai produsen film Hollywood di Indonesia dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia. Mereka kemudian memutuskan untuk menghentikan peredaran film-film produksi mereka di Indonesia.

Tak Ada Kebijakan Perpajakan Baru

kompas.com, Senin 21 Februari 2011

JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menegaskan, tidak ada kebijakan baru terhadap film impor karena penambahan royalti ke nilai pabean sudah sesuai dengan Perjanjian Penilaian Organisasi Perdagangan Internasional (WTO Valuation Agreement). Dengan demikian, penarikan royalti sebagai basis penagihan bea masuk film impor sudah berlaku sejak diratifikasi Indonesia, yakni tahun 1995.

"WTO Valuation Agreement sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan diadopsi pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995. Undang-undang tersebut sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang mengatur nilai pabean," tutur Direktur Teknis Kepabeanan Heri Kristiono di Jakarta, Senin (21/2/2011).

Menurut Heri, tidak ada kenaikan tarif bea masuk. Film impor diklasifikasikan dalam HS (pos tarif) 3706 dengan pembebasan tarif bea masuk 10 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor sebesar 2,5 persen.

Kemudian, sesuai dengan jadwal audit yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, tahun 2010 adalah jadwal untuk audit importir film. Dalam audit itu, Ditjen Bea dan Cukai menghitung ulang pada tahun 2010.

Pada 11 Februari 2010 digelar rapat antardepartemen tim harmonisasi tarif di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Atas dasar rapat itu, diadakan pertemuan antara unsur pimpinan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional dan Kepala BKF. Dalam pertemuan itu, BKF menyatakan bahwa permasalahannya saat ini adalah perhitungan nilai pabean.

"Nilai pabean untuk impor film hanya didasarkan pada harga cetak copy film, belum termasuk hak royalti dan bagi hasil," ujar Heri.

Selasa, 01 Februari 2011

Temui Pimpinan KPK, Dirjen Pajak Bahas Penyelidikan Kasus Gayus

detik.com, Selasa 01 Februari 2011

Fajar Pratama


Jakarta - Tanpa banyak diketahui, Pimpinan KPK malam ini melakukan pertemuan dengan Dirjen Pajak Fuad Rahmany. Pertemuan tersebut untuk membahas seputar penyelidikan kasus Gayus Tambunan yang saat ini tengah dilakukan KPK.

"Membicarakan hal-hal yang teknis dalam rangka kita untuk penyelidikan data-data yang diutuhkan dalam konteks kasus Gayus," ujar Fuad kepada wartawan di Gedung KPK, Selasa (1/2/2011) malam.

Fuad keluar dari gedung KPK sekitar pukul 21.15 WIB, ditemani Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra M Hamzah. Namun Fuad menyankal kedatangannya ini untuk menyerahkan data dari Ditjen Pajak yang diminta oleh KPK.

"Belum, bukan hari ini. Kita masih berbicara hal-hal teknis," terang Fuad.

KPK yang saat ini tengah berada dalam tahap penyelidikan kasus Gayus Tambunan meminta data 151 perusahaan yang pernah ditangani terdakwa kasus mafia pajak tersebut. Surat permintaan data itu sudah dilayangkan ke Kemenkeu.

Namun sampai saat ini, Kemenkeu khususnya Ditjen Pajak belum juga memberikan data tersebut ke KPK. Untuk diketahui, Mabes Polri sudah lebih dulu meminta data yang kurang lebih sama ke Kementerian Keuangan.

Rumah Kosong, Sulit Tarik PBB

Harian Kompas, 1 Februari 2011


Malang - Sebanyak 5-10 persen tanah dan rumah kosong terdapat di sejumlah kompleks perumahan di Kota Malang, Jawa Timur, setiap tahun, karena pemilik berada di luar kota. Kondisi itu membuat petugas pajak sulit menarik pajak bumi dan bangunan dari pemiliknya.

Kepala Bidang Kerja Sama Ekstensifikasi dan Penilaian Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jatim III Julius Sulistiono mengatakan itu, Senin (31/1), seusai kegiatan penyampaian Surat Pajak Terutang (SPT) PBB tahun 2011 di Balai Kota Malang.

Untuk menarik pajak pada tanah dan bangunan kosong itu, Julius memulai dengan mengirim petugas ke lokasi, mengirim surat tertulis melalui kelurahan, hingga menempel surat bahwa bangunan dan tanah disita oleh negara. ”Biasanya kalau sudah ada keterangan mengenai penyitaan, pemilik akan datang untuk mengurusnya,” kata Julius.

Saat ini di Kota Malang (Malang Utara dan Selatan) terdapat 240.000 wajib pajak (WP). Dari total WP itu, Kanwil DJP Jatim III ditargetkan mendapat pemasukan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp 35,2 miliar pada tahun 2011 ini.

Adapun capaian PBB Malang untuk tahun lalu sebesar Rp 37,5 miliar atau tercapai 106 persen dari target awal Rp 35,27 miliar. Tahun 2009, dari target awal PBB Rp 31,18 miliar tercapai Rp 31,76 miliar.

”Namun, tetap saja ada daerah dengan capaian pajak cukup sulit. Mulai dari kurangnya kesadaran warga melaporkan pendapatan, juga karena sebab lain. Misalnya di Situbondo, warga biasanya mendapat janji dari calon kepala desa jika dia terpilih akan membayar semua pajak pemilihnya. Namun, begitu ia terpilih, nyatanya janji itu tidak ditepati,” tutur Julius.

Kelola sendiri

Di luar PBB, tahun 2001 Pemerintah Kota Malang akan mulai mengelola Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sendiri. Tahun ini, Kota Malang menargetkan dapat meraih BPHTB sebesar Rp 41,5 miliar.

Target itu dinilai tidak terlalu muluk-muluk mengingat pada tahun sebelumnya saat masih dikelola pemerintah pusat, BPHTB Kota Malang sebesar Rp 43 miliar hingga Rp 45 miliar.

”Tingginya nilai BPHTB ini menunjukkan aktivitas jual beli tanah dan pembangunan di Kota Malang cukup tinggi,” ucap Kepala Dinas Pendapatan Kota Malang Mardioko.

Selama ini, BPHTB masih dikelola pemerintah pusat, dan hasilnya dibagi dengan daerah. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai 2011 daerah harus mengurus sendiri pajak dan retribusi daerahnya, termasuk BPHTB.

Pansus Mafia Pajak Jadi Ajang Transaksi Politik

ortax.org, mediaindonesia.com, 1 Februari 2011

JAKARTA -
Peneliti Senior Center for Strategic and International Studies J Kristiadi mengatakan pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket mafia pajak hanya akan dijadikan transaksi politik.

"Selama politik uang belum bisa diberantas yang namanya pansus negosiasi transaksi pasti, yang dinegosiasikan bukan cita-cita tapi kepentingannya apa. Pansus pasti transaksi politik, contohnya kasus Century," katanya di Jakarta, Senin (31/1).

Ia mengatakan pembentukan pansus tidak akan efektif karena masing-masing partai politik memiliki kepentingannya sendiri. Sehingga hasilnya pun hanya dedikasikan untuk tujuan jangka pendek.

Tax holiday bukan prioritas utama penarik investor

ortax.org, kontanonline.com, 31 Januari 2011

JAKARTA - Pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu alias tax holiday bukan insentif utama dari pemerintah kepada investor. Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa menyatakan, infrastruktur yang memadai serta bebas pungutan liar (pungli) lebih berharga ketimbang insentif fiskal.

Menurut Hatta, tax holiday berada pada urutan paling akhir dalam deretan kebijakan pemerintah untuk menjaring investasi. "Saya rasa tax holiday tidak terlalu dominan, para pengusaha sudah cukup senang jika mereka tidak terkena pungutan liar," ujarnya, akhir pekan lalu.

Selain pemberantasan pungli, percepatan pembangunan infrastruktur juga menjadi prioritas pemerintah. Hatta menjelaskan, ada tiga upaya untuk menjamin ketersediaan infrastruktur. Pertama, penyiapan undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Kedua, penyediaan program kemitraan pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP) dalam membangun infrastruktur. Hatta mengungkapkan, pemerintah menawarkan beberapa proyek infrastruktur kepada investor lewat program PPP. Sebagai contoh, pembangunan pembangkit listrik di Jawa Tengah serta jalur rel kereta api dari Stasiun Manggarai menuju Banda Udara Soekarno Hatta.

Ketiga, pelaksanaan harmonisasi ketentuan dan aturan pemerintah pusat dan daerah. Hatta menambahkan, kini pemerintah sedang menyusun peraturan teknis tentang tax holiday yang rencananya terbit bulan depan. "Kami juga tidak mau berlama-lama dalam membuat aturan ini. Yang sedang kami matangkan adalah soal jangka waktu pembebasan pajak ini," imbuh Ketua Umum Partai PAN itu.

Sekadar informasi, kebijakan insentif pajak itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Berbekal beleid ini, Menteri Keuangan akan mengeluarkan peraturan tentang tax holiday.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik, Hariyadi Sukamdani menyatakan bahwa kebijakan tax holiday ini merupakan permintaan dari investor asing. Tentu saja pemberian tax holiday positif untuk menarik investor. "Peraturan ini menjadi daya tarik bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya, jika tidak mereka akan mencari negara-negara yang lebih potensial," katanya.