Selasa, 04 Januari 2011

Tax holiday tak miliki daya tarik untuk investasi

Kontanonline.com, 1 Januari 2011

JAKARTA - Pemberian fasilitas pembebasan pajak dalam kurun waktu tertentu (tax holiday) dinilai belum tentu mampu menarik investasi. Saat ini, penanaman modal lebih ditentukan oleh kestabilan ekonomi makro, infrastruktur, kebijakan perburuhan, kemudahan ekspor-impor, dan regulasi di daerah.

Demikian ditegaskan pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu. “Tax holiday adalah insentif dimana perusahaan yang baru berdiri diberikan pembebasan pajak penghasilan korporasi dalam kurun waktu tertentu, misalnya lima tahun, untuk menarik investasi. Namun sebenarnya, tax bukan merupakan faktor dominan dalam penanaman modal,” katanya, akhir pakan lalu.

Berdasarkan Survey Daya Saing Perdagangan dan Investasi 2009, lanjut Anggito, ternyata kebijakan perpajakan bukan faktor utama yang diperhatikan oleh investor. “Daya saing investasi Indonesia ternyata lebih ditentukan oleh kestabilan ekonomi makro, kemudahan ekspor-impor, kebijakan ketenagakerjaan, infrastruktur, dan regulasi di daerah,” katanya.

Hasil survei menunjukkan, dari sekitar 200 responden dunia usaha, sekitar 27,9% diantaranya menyatakan faktor penentu penanaman modal adalah kemudahan ekspor-impor. Kemudian 25,4% menyatakan kondisi ekonomi makro, 16,3% infrastruktur, 15,8% kebijakan ketenagakerjaan, dan 10,6% regulasi di daerah.

Sementara hanya 4,1% responden yang menyatakan bahwa masalah perpajakan menjadi faktor utama yang memicu minat investasi. “Indonesia pernah menerapkan tax holiday pada 1980-an. Namun investasi justru meningkat ketika sudah tidak ada tax holiday. Jadi tax holiday bukan faktor yang mendorong investasi,” tegasnya.

Tarif pajak di Indonesia, tambah Anggito, sebenarnya masih cukup kompetitif. “Memang ada beberapa industri yang memiliki tax payment lebih tinggi, tetapi itu karena sanksi, biaya administrasi, dan sebagainya. Bukan tax rate,” katanya.

Selain itu, menurut Anggito, tax holiday sulit diwujudkan tanpa mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh). “Tax holiday tidak mungkin ada tanpa perubahan UU PPh,” ujarnya.

Bebas Pemeriksaan jika Hasil Audit WTP

Harian Kompas, 31 Desember 2010 (ortax.org)

Jakarta - Wajib pajak bisa bebas dari pemeriksaan pajak oleh petugas Ditjen Pajak jika hasil audit dari kantor akuntan publik menunjukkan opini wajar tanpa pengecualian. Apabila mekanisme ini berjalan, proses restitusi pajak akan menjadi mudah dan cepat.

”Ide melibatkan akuntan publik ini karena beban pemeriksaan pajak yang kami tanggung semakin besar,” kata Otto Endy Panjaitan, Direktur Pemeriksaan dan Penyidikan, Ditjen Pajak, di Jakarta, Kamis (30/12).

Ia menjelaskan, Ditjen Pajak hanya mampu memeriksa 0,3 persen wajib pajak. ”Jadi, dengan audit akuntan publik dan opininya ternyata WTP (wajar tanpa pengecualian), kami tidak akan memeriksa wajib pajak itu lagi,” ujar Otto, seusai penandatanganan nota kesepahaman antara Dirjen Pajak Mohammad Tiptardjo dan Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tia Adityasih.

Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan menjelaskan, dengan memberi wajib pajak pembebasan dari pemeriksaan pajak jika mendapatkan hasil audit dengan opini WTP, beban Ditjen Pajak dalam menyelesaikan kasus-kasus keberatan yang masuk ke pengadilan pajak akan semakin ringan. Setiap hari, terdapat 40 kasus yang masuk ke pengadilan pajak.

Menurut Tia, pihaknya mendapat waktu enam bulan untuk mempersiapkan kerja sama audit dengan Ditjen Pajak. Dalam enam bulan, IAPI akan menghimpun seluruh potensi pelanggaran atau modul kriminal yang mungkin dilakukan oknum akuntan publik atau pihak yang mengaku akuntan publik.

Hal ini, kata Tia, diperlukan karena ada potensi pemalsuan hasil audit oleh pihak tertentu, yang menguntungkan wajib pajak nakal, tetapi merugikan negara. Manipulasi atas permintaan restitusi pajak menjadi perhatian khusus.

Menurut Tia, hal yang juga harus jadi perhatian adalah menyiapkan standar audit yang harus dimiliki akuntan publik dalam melakukan audit keuangan.

Dari 920 akuntan publik di Indonesia, sebagian besar akuntan untuk laporan keuangan komersial. Padahal, audit yang diperlukan dalam kerja sama dengan Ditjen Pajak adalah audit keuangan nonkomersial.

Untuk itu, IAPI menyiapkan program pendidikan bagi akuntan publik yang dapat mengaudit laporan keuangan untuk keperluan perpajakan.